Sunday, March 13

Kue Pengalamanku (CERPEN)

Aku memiliki kehidupan yang mewah dan kebutuhan ekonomi keluarga tercukupi. Tinggal di kota Medan dengan kedua orang tua yang sangat sibuk bekerja, sehingga mereka kadang kurang meluangkan waktu untuk memperhatikanku. Mungkin tidak bisa dibilang hanya terkadang, karena tidak jarang mereka tidak memperdulikanku hanya karena urusan pekerjaan. Sehingga sikapku agak kasar dan tomboy. Angeline Cindy Novita itulah namaku. Seorang siswi dari salah satu SMA elite di Medan.



Aku terkadang menjdai sangat sedih, teman-teman di sekolah selalu mengejekku. Sifat tomboy membuatku tidak suka masak apalagi bikin kue. Padahal aku seorang cewek yang harusnya bisa memasak. Aku sangat benci dengan sifat ini. Sampai ketika aku sangat kesal dengan sindiran teman sekelasku, sehingga saat pulang sekolah kubanting buku yang sedang kupegang hingga mengeluarkan bunyi ”BBRAAKKK!!!” dengan sangat keras sampai beberapa teman sekelasku kaget.



Aku langsung berlari keluar dari kelas dan menuju gerbang sekolah. Dengan lesu kutelusuri jalan menuju rumahku. Entah mengapa kali ini terasa begitu sangat jauh dari sudut pandang mataku. Ketika sampai di rumah, aku menaruh tas dan langsung menghempaskan tubuh ke atas ranjang tidur mewahku.



Aku memandangi langit-langit kamar, dan mulai memikirkan sesuatu. Aku bangkit dari tempat tidur, lalu aku raih ganggang telepon dan mulai menekan sederet nomor yang menghubungi bibiku. Ketika kudengar suara orang menjawab teleponku, wajahku langsung senang karena aku tahu bahwa yang mengangkat telepon adalah bibiku, seseorang yang paling kuharapkan pertolongannya saat ini.

”halo ? bibi ? ini cindy!”

”iya cindy, ini bibi, ada perlu apa telepon ?”

”bi, cindy mau bikin kue di rumah bibi, boleh kan bi ?”

”tentu boleh, jadi kapan kamu mau ke rumah bibi buat coba bikin kue ?”

”sekarang juga bisa, lebih cepat kan lebih baik.”

”oke, kalau gitu, bibi tugasnya apa nih ?”

”bibi cuma bertugas kasih komentar aja kog dan juga tolong siapin bahan.”

”beres cin, pokoknya urusan cicip-mencicip serahkan pada bibi aja”

”ya sudah bi, makasih ya, dahh !”



Setelah sambungan telepon terputus, akupun langsung berangkat dengan diantar Mang Ujang, supir pribadiku. Selama di perjalanan aku membayangkan bagaimana nanti ketika aku akan mencoba untuk membuat kueku yang pertama, pasti deg-degan banget, tapi aku yakin pasti bisa. Membuat kue pastilah sangat gampang.



Ketika sampai di tempat tujuanku, terlihatlah sebuah rumah mewah yang tamannya terawat dengan rapi dan udaranya sangat sejuk walaupun pada siang hari. Kupencet bel yang berbunyi nyaring. ”TEEETTT TULALILUTT TEET..!!!” Seseorang yang sudah tidak asing bagiku keluar membukakan pintu dan menyambutku. Orang itu biasa kupanggil Mbak Nining, pembantu di rumah bibiku. Aku menyapanya dan langsung melesat masuk ke dalam rumah bibi.



Kulihat bibi sedang menonton tayangan sinetron kegemarannya. Aku tidak mau mengganggunya, aku langsung menuju ke arah dapur rumah bibi. Kulihat bahan-bahan yang kubutuhkan sudah tersedia semua di sana. Ternyata bibi sudah menyuruh mbak Nining untuk menyiapkan semua bahan ini. Aku senang, karena tidak perlu repot lagi untuk membeli bahan yang kubutuhkan.



Aku membuat kue pertamaku. Selama 2 jam aku berurusan dengan tepung, gula, telur, dan masih banyak bahan lainnya. Karena baru pertama kali, aku masih sangat bingung dalam proses pembuatannya. Aku campurkan segala macam bahan dalam satu wadah. Pada akhirnya, aku cetak dan aku masukkan ke dalam oven.



Setelah selesai, kue kuberikan kepada bibi untuk dicicipi. Aku sangat kecewa dengan komentar bibi. Bibi mengatakan kue pertama buatanku sangat keras dan sangat susah untuk dinikmati. Bibi mengberi menyarankan agar aku menambahkan telur dan baking powder ke dalam adonan kue pertamaku.



Karena aku kurang puas dengan hasil kue pertamaku, langsung saja aku buat kue keduaku. Aku sudah tidak terlalu bingung, aku hanya memakan waktu 1,5 jam. Aku tidak lupa menambahkan baking powder dan telur dalam adonan yang sedang kumasak, lalu kumasukan ke dalam oven untuk dipanggang secara praktis.



Setelah kue keduaku jadi, aku berikan kepada bibi untuk dikomentari seperti yang dilakukan bibi pada kue pertamaku. Aku masih agak kecewa mendengar komentar bibi kali ini. Bibi mengatakan kueku yang kedua ini terlalu manis, harusnya aku tidak terlalu banyak memberi gula ke dalam adonan kue.



Lalu bibi memberitahuku agar belajar dari pengalaman kue pertama dan kue kedua, karena justru sebuah keberhasilan akan diawali dengan pengalaman yang salah. Kata bibi, pengalaman adalah guru yang keras. Pengalaman memberi ujian terlebih dahulu baru pemahamannya.



Lalu akupun membuat kue ketigaku. Aku membutuhkan waktu 1 jam 10 menit untuk membuat kue, karena aku sudah tidak bingung lagi. Aku juga tidak lupa belajar dari pengalaman kue pertama dan kue keduaku. Aku menambahkan baking powder dan telur agar kuenya tidak terlalu keras dan mengurangi gulanya agar tidak terlalu manis.



Setelah kuenya dioven dan jadi, aku berikan kepada bibi untuk melihat penilaiannya. Kali ini senyuman mulai tersirat pada wajahku. Kata bibi, kueku sudah enak, tidak keras dan manisnya pun sangat pas. Lalu bibi memberitahuku, jika kamu ingin membuat kue yang lebih istimewa, kamu harus percaya bahwa kamu bisa, tidak boleh ragu, dan tidak boleh menyepelekan hal-hal yang kecil. Sedikit saja salah, itu dapat mempengaruhi rasa yang dihidangkan pada kue yang kita buat. Tentunya suasana hati kita juga akan berpengaruh. Jika kamu menaruh sedikit saja perasaanmu dalam membuat kue, maka kue itu akan terasa enak, dan kamu juga harus memiliki suasana hati yang senang saat membuat kue agar kue itu juga enak untuk dinikmati.



Itulah pembelajaran sangat berharga yang diberikan bibi saat masa mudaku. Pembelajaran itu sangat berarti bagiku. Pembelajaran yang singkat tetapi dapat membawa kesuksesan bagiku. Kini, aku adalah seorang koki pada sebuah restoran kue ternama di australia, dan pembelajaran berharga itu akan selalu aku ingat. Terima kasih untuk bibi yang sudah memberikan pelajaran berharga di waktu yang singkat saat masa mudaku.



by : cynthia novita

No comments:

Post a Comment